Selasa, 21 Januari 2014

Ghost Or Not ? Part 1

Assallamualaikum Warrahmatullahi Wabaraktuh.. :)

Hello readers semuaaaaaaaaa...
Ini tanggal 21-01-2014 , dan untuk pertama kalinya aku buat blog, yuhuuu ~~~~\o/
Cerita ini dibuat udah lama banget di Facebook aku, so aku mau re-post disini hehe :DD
pemeran utamanya JUSTIN BIEBER, because im a  Belieber. Belieber bilang cerita tentang justin bieber/fanfiction biasa kami sebut JD atau Just Dreaming. So, hape you enjoy this story. Kalau gasuka Justin cukup baca aja ceritanya hhaha *maksa*




PART 1

                                                               GHOST OR NOT?





Jantungku terasa berhenti, meski bodoh kukatakan mungkin aku sudah tidak punya jantung lagi. Dia terbaring disana, kaku dan dingin terbalut benda-benda rumah sakit yang berbunyi bip setiap saat. aku tak bisa lagi melayang. Aku bahkan tak bisa merasakan suaraku, juga tangisanku. Aku bahagia menemukan dia, meski terluka menyadari pertemuan ini tak seindah yang kubayangkan. Menyesali seharusnya aku datang lebih cepat. Aku tidak pada waktu yang tidak tepat, dan aku menyadari nama Deane itu berawal pada hari ini.
Pria itu menangisi tubuh patung yang terbaring dibangkar besi, aku ngilu menyaksikan mereka. Tubuhku seperti bayangan, mungkin memang seperti itu sejak berpuluh puluh hari yang lalu. Aku seperti berdiri diantara terang dan gelap, antara kematian dan kehidupan. Mata pria itu tak lagi memandangku yang tak mampu melakukan apapun bahkan untuk bernafas-meski secara teknis aku sudah tidak bisa bernafas. Aku menyaksikan jari-jemari gadis dalam bangkar besi itu bergerak, entah bagaimana jari jemariku juga ikut bergerak. Dalam sekejap aku merasakan cahaya samar mengelilingku, angin terpusat satu titik dari atas kepalaku membuatku melayang. Aku terkepung cahaya terang, membutakan mataku sendiri dan aku merasakan diriku menghilang.



                                                                 ****




Sore ini salju turun tak selebat kemarin, membuat gadis kecil itu merangkak turun dari kasur dan mengusap jendela berembun dengan sikunya. Seringaian kecil terlukis di wajahnya yang dibingkai dengan pipi merah. Gadis kecil itu berlari keluar kamarnya, menuruni tangga dan lekas memakai mantel tebal yang menggantung di gantungan baju disamping pintu rumahnya, juga sepatu boot kebesaran yang dibelikan ayahnya, ayahnya memang benar-benar tak tahu selera gadis 10 tahun ini.
                “ Mom.. bolehkah aku keluar?” Gadis itu berteriak sambil berusaha memasukan kaki-kaki kecilnya kedalam boots cokelat besar miliknya.
                “ Ya sayang, hati-hati karena jalan licin. Dan jangan bermain terlalu jauh.” Sang ibu menyahut dari arah dapur, senyum gadis kecil itu semakin merekah. Carmel, begitulah orang-orang memanggilnya. Sigadis kecil dengan wajah menggemaskan, pipinya selalu merah seakan setiap hari diolesi selai tomat. Satu hal yang Carmel suka di bulan Desember, salju. Carmel sangat menyukai salju, seperti dia menyukai Barbie, Hello kitty, dan SpongeBob. Dan Carmel takkan menyiakan kesempatan yang datang setahun sekali ini dan meninggalkannya begitu saja. Gadis kecil itu cekatan membuka pintu, angin dingin langsung menghempaskan kulit wajahnya membuatnya sedikit beku, namun gadis kecil itu tetap gembira.
                “ Carmel.. “ seorang gadis kecil lain memanggilnya, tanpa melihatnya Carmel tahu itu Carlota, teman kelas musim panasnya, yang letak rumah carlota percis tepat didepan rumahnya. Carmel tentu saja gembira dengan adanya Carlota disini, gadis itu berlari kecil menyongsong Carlota yang berdiri diatas tumpukan salju setebal 2 centi.
                “ Hallo Ms Campbell, “ sapa Carmel tersenyum menggoda saat ada didepan Carlota.Carlota memutar kedua bola matanya membuat Carmel tertawa geli.
                “ Oh come on Carl, perang belum dimulai.” Sambil berjalan Carmel memandang rumah sepi penghuni yang ada disamping rumahnya. Namun langkahnya terhenti ketika sesuatu yang dingin dan menyakitkan mengenai telinganya yang telanjang. Carmel menoleh kesal menatap Carlota yang tersenyum tanpa dosa dengan segenggam bola salju ditangannya.
Carlota nyengir, “ Sekarang sudah dimulai kan?”
 Carmel ngomel panjang pendek dan terus melangkah. “ Kita kekurangan anggota, berdua saja takkan seru.” Gumam Carmel terus berjalan menembus tumpukan salju kearah perakarangan rumah tetangganya. Carlota memberengut dan dengan tertatih mengejar gadis kecil itu.
                “ Kau akan mengajak si kembar?” Tanya Carlota tak percaya. Carmel tersenyum dan mengangguk lalu berjalan lagi menuju pintu rumah mewah yang dihiasi tanaman Mistletoe juga sebuah lonceng yang menggantung disana.
                “ Kurasa itu ide yang tidak bagus.” Komentar Carlota. Carmel mengabaikannya.
                “ Kita berdua, mereka berdua. Itu ide yang cukup bagus.” Sahut Carmel saat mereka sudah ada didepan pintu. Dengan santai Carmel mengetuk pintunya. Carlota tak banyak bicara , gadis kecil itu amat tahu salah satu  dari si kembar Bieber itu mempunyai sikap yang sangat buruk, dan Carlota takut kalau yang membukanya adalah Jason, anak lelaki yang suka meledakkan petasan ditempat sampah rumah-rumah orang. Dan itu sudah melanggar aturan juga etika bertetangga.
                “ Kita tak tahu siapa yang akan membuka pintu,” bisik Carlota bergetar, meski suhu diudara sudah mampu menggetarkan bibirnya.
                “ Kuharap itu Jason.” Carmel menoleh dan tersenyum. Carlota melotot dan memukul kepala temannya itu.
                “ Tidak, Jason itu anak nakal.” Imbuh Carlota.
                “ Yang nakal itu Justin.” Tuntut Carmel, berhenti sejenak menatap pintu yang terbuka ketika mereka berdebat. Seorang anak lelaki muncul dengan rambut cepak berwarna cokelat pirang, senyumnya manis dan mulutnya dipenuhi kue jahe,sebelah tangannya menggenggam setoples kue jahe berisi penuh . Sejenak kedua anak perempuan itu tertegun melihat pemandangan yang membuat mata mereka terpaku beberapa detik.
Carmel berdesis.
 “ Jason—“
                “ Justin—“ Carmel melotot pada Carlota yang ada dibelakangnya. Carl itu bodoh, yang didepan mereka itu bukan Justin. Kenapa dia salah menyebutkan nama orang? Padahalkan mereka sudah bertetangga bertahun-tahun. Carmel menggerutu dalam hati. Carmel saja sudah hafal yang mana Justin dan yang mana Jason meski dia baru saja 2 minggu tinggal disini.
 Setelah beberapa detik mereka berdua saling melotot, tiba-tiba sebuah bola salju menghantam kearah mereka dan langsung mengenai toples kue jahe yang digenggam anak lelaki itu membuatnya jatuh kelantai dan menimbulkan suara yang cukup nyaring. Tanpa hitungan detik puluhan kue jahe berserakan dimana-mana bersama lelehan salju yang cukup memenuhi pandangan. Carmel terkejut setengah mati, siapa orang sialan yang sudah melempari mereka? Belum tersadar dari keterkejutannya Carmel dan Carlota sudah melihat anak lelaki yang ada didepan mereka menangis kencang lalu berlari memasuki rumahnya. Carmel bisa mendengar anak lelaki itu mem anggil-manggil ibunya sedih. Carmel memutar pandangan dan tiba-tiba sebuah bola salju mengenai tepat wajahnya, errr pipi Carmel mendadak beku seketika. Disusul dengan itu wajah Carlota juga dihantam bola salju membuatnya meringis. Mereka berdua kesal dan marah. Mata kedua gadis kecil itu melalang buana pada hamparan salju juga tong-tong sampah yang berada ditengah jalan. Mereka langsung mendapati kumpulan anak lelaki tertawa-tawa sambil membentuk bola salju dalam kepalan dan brakk.. satu tembakan kembali mengoyak hidung Carmel yang mancung. Carmel mencoba mengambil segenggam tumpukan salju yang ada didekat kakinya dan membentuk bola lalu dilemparkannya tepat mengenai satu dari 5 wajah anak-anak lelaki itu. Carmel bahkan dapat melihat satu dari kelima bocah lelaki itu adalah kembaran dari anak lelaki yang membuka pintu tadi. 
“ Rasakan kau, Justin.” Carmel berteriak puas.
“ Dia Jason.” Sergah Carlota tetap tak mau mengalah. Kelima anak lelaki itu langsung berkerumun dan Carmel juga Carlota langsung melebarkan matanya begitu melihat serangkaian petasan di bakar dengan korek api. Carmel mengeram kesal namun Carlota sudah menariknya berlari menjauh. Kedua gadis kecil itu berlari secepat kilat ketika petasan dilempar kearah mereka. Carmel bahkan merasakan ledakan-ledakan dahsyat dibalik punggungnya lalu dengan secepat kilat dia membuka pintu rumahnya dan mengunci pintu bersama Carlota disampingnya dengan nafas terengah-engah.
“ Yang tadi itu Justin kan?” Sambil mengatur nafas, Carmel menatap Carlota. Carlota malah menempelkan telinganya didaun pintu, gadis kecil itu merasa sudah takkan adalagi ledakan-ledakan, meski yang lebih dashyat.. hey kemana orang-orang? Bukankah suara tadi seharusnya mengundang kebisingan? Carlota terkadang bingung dengan sifat apatis para orangtua dikomplek ini. sudah lama  anak dari Jeremy Bieber itu selalu berbuat onar. Tetapi tetap tak ada yang mau melapor pada polisi tentang anak polisi yang tata kramanya sudah hilang. Voilla, anak polisi! Carlota hampir lupa dia memikirkan anak dari kepala polisi Washington DC.
“ Dengar Ms Summer, anak lelaki bodoh itu Jason, anak menangis tadi itu Justin. Bisakah sekali saja kau tidak tertukar ?” Carlota, berkata sarkatik. Carmel terhenyak sejenak, bukankah..
“ Carmel, Carlota, ada apa? Apa yang terjadi?” kedua gadis itu mendongkak seirama saat mendengar suara cemas ibu Carmel yang datang. Carmel menggeleng dan tersenyum pada ibunya.
“ Hanya sedikit ledakan Mrs Wesley,” Carlota menjawab. “ Ledakan dari anak-anak nakal itu.” Sambung Carlota. Mrs Wesley memandang kedua gadis kecil ini khawatir dan mendesah maklum, lalu mulai membuka mantel-mantel mereka dengan kelembutan.
“ Sebaiknya kalian berdua mandi, aku akan menyiapkan susu hangat.” Sambil berkata Mrs Wesley beranjak dengan mantel-mantel menggantung dilengannya dengan beberapa titik salju melekat disana.


***

Carmel Deane Summer, gadis kecil , malaikat dirumahnya. Dia adalah putri dari pasangan Carlely Wesley dan Demetria Deane. Carlely adalah ayah tiri Carmel, namun Carmel tak pernah mendapatkan perlakuan berbeda dari Wesley. Wesley menjadi ayah Carmel ketika Carmel masih dalam kandungan, dan tentu saja Wesley sangat menyayangi Carmel seperti anak kandungnya sendiri. Carmel adalah gadis asal New Jersey, dia menetap di Washington DC sejak dua minggu yang lalu saat ayahnya diberi kepercayaan oleh atasannya untuk menjalankan pekerjaan yang mereka geluti dicabang Washington. Dan itu membuat Wesley jarang ada dirumah. Carmel bukan tipikal gadis manja sebenarnya, namun ayah dan ibunya memperlakukannya seperti seorang putri hingga Carmel merasakan apapun yang ada dalam hidupnya harus sempurna. Hari pertama Carmel saat pindah, Carmel memiliki pengalaman menakjubkan bersama salah satu dari sikembar Bieber. Hari pertama tepat saat salju turun dibulan Desember. Carmel amat senang hari itu, dia berniat keluar rumah dan ingin sekali membuat boneka salju. Dengan semangat Carmen mengumpulkan salju-salju yang masih sedikit itu kedalam ember, dia ingin ini jadi boneka salju pertamanya di Washington. Dengan susah payah Carmel mencari tumpukan salju yang sudah padat disekitar kompleknya dan membawanya dengan roda kebun milik ibunya. Setelah satu jam mengumpulkan salju, saljupun menggunung dua kali lipat lebih besar dari ukuran tubuhnya. Carmen mulai membentuk boneka salju, dari bagian bawahnya , perut hingga kepala. Gadis itu lalu mengambil ranting, beberapa buah batu juga wortel yang diambil dari lemari pendingin. Tahap demi tahap Carmel ikuti dengan baik hingga boneka saljunya hampir selesai. Carmel menatap boneka saljunya yang tersenyum ceria. Hanya ada 1 yang kurang, hoodie dari benang wol juga syal yang bisa membuat boneka saljunya menjadi sempurna. Carmelpun berlari kerumahnya mengambil semua barang yang ia butuhkan, saat ia kembali boneka saljunya hancur berantakan. Carmel terpaku, tak bisa mengatakan apapun. Titik-titik airmatanya jatuh kepipi, gadis kecil itu berlari menghampiri bonekanya dan mendapati sebuah bola basket tepat didekat kakinya, diatas tumpukan salju yang sudah lumer. Carmel menangis sejadi-jadinya saat itu juga , ia kembali membentuk boneka saljunya namun sudah sedikit meleleh. Gadis kecil itu berhenti menangis ketika ia melihat sepasang sepatu boot muncul didekatnya. Carmel mendongkak, menatap seorang anak lelaki berhoodie dengan kaus lengan panjang yang diam namun menatapnya gusar. Carmel mengeram, dia yakin anak ini sipemilik bola yang menghancurkan boneka saljunya. Wajah carmel merah matang, gadis itu bisa merasakan pipinya memanas.
                “ Kau sipemilik bola ini? kau yang menghancurkan boneka saljuku?” Carmel tak dapat menyembunyikan kemarahannya, gadis kecil itu menuding anak lelaki yang menatapnya gugup. Anak lelaki itu menunduk dan meraih bola basket yang ada didekat kaki Carmel.
                “ Aku minta maaf atas kelakuan Justin, ini bolanya. Maafkan aku.” ujar anak lelaki itu, Carmel bisa merasakan perasaan tulus didalamnya. Gadis itu perlahan menarik nafas, mengusap air mata dipipinya.
                “ Siapa Justin?” Tanya Carmel ingin tahu.
                “ Dia saudaraku, perlakuannya memang sedikit buruk. Tapi aku akan membantumu membentuk boneka saljumu lagi.” Katanya meyakinkan. Bibir Carmel terangkat penuh, Carmel merasakan hari-harinya di Washinton takkan seburuk yang ia bayangkan. Anak lelaki itu mulai merauk sisa-sisa salju yang mungkin bisa dibentuk. Carmel membantunya dengan gigih dan mereka berdua meluangkan waktu sepanjang sore untuk menampung salju dan membentuknya menjadi dua boneka salju sekaligus. Mr snow dan Mrs snow , begitu mereka menyebutnya.
                “ Bagaimana menurutmu?” tanya anak lelaki itu melipat tangan diatas dada, memandang bangga hasil karya mereka. Carmel tersenyum girang dan menatap anak lelaki disampingnya dengan semangat.
                “ Aku tidak pernah melihat yang sebagus ini sebelumnya.” Kata Carmel memuji. Carmel menatap anak lelaki itu dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
                “ Aku tidak mengenalmu. Aku Carmel Deana Summer. Siapa namamu?” Tangan Carmel masih menggantung, menunggu anak lelaki yang ada didepannya menyambutnya.
                “ Aku Jason Drew Bieber-“ Jason menyambut hangat tangan Carmel. “ Aku memiliki saudara yang sangat nakal , dia saudara kembarku namanya Justin Drew Bieber. Jangan pernah berharap bertemu dengannya jika ingin selamat.” Seringaian mengejek datang dari mulut Jason, seakan yang dikatakan Jason adalah nyata. Tentu saja Carmel percaya kata-kata Jason, terbukti bahwa bola sialan milik Justin menghancurkan boneka salju pertamanya. Ugh , Carmel masih benar-benar kesal.
                “ Senang berkenalan denganmu Jason, aku harap kita menjadi teman yang baik. Dan aku tidak berharap bisa bertemu dengan saudaramu itu.” Entah bagaimana Carmel merasakan hari-harinya disini lebih menantang.

                                                                          ***



seminggu setelah perkenalan itu, Carmel selalu mengisi hari-hari Jason. Awalnya Jason tidak masalah memiliki seorang teman cewek tapi lama kelamaan Carmel menjengkelkan juga. Anak itu selalu mengikuti kemana Jason pergi, Jason bahkan di ejek oleh teman-temannya karena memiliki teman seorang gadis yang cengeng. Carmel sering menangis kalau terluka sedikit, bahkan jika Jason menjahilinya dan Carmel tidak suka, tidak peduli dia berada dimana Carmel akan menangis dan menjerit sekuat-kuatnya, itulah yang membuat Jason menjauh. Jason merasa sedikit terganggu dan tak sebebas dulu, hingga akhirnya Carmel dan Jason tidak pernah bertemu lagi. Carmel merasa kesepian , sampai gadis itu menemukan Carlota  yang juga masih bertetangga dengan mereka. Tak jarang Carmel sering mengunjungi rumah keluarga Bieber hanya untuk bertemu Jason, namun Jason tetap menjauh. Hingga sampai salju turun dihari ke-28 bulan desember. Carmel menemukan salju tak selebat hari kemarin, hingga akhirnya dia keluar rumah dan menemukan Carlota disana. Dan sampai kejadian petasan itu terjadi.. Carmel masih terus berfikir bahwa Jason menangis karena saudaranya yang sangat menjengkelkan. Justin harus tahu apa arti tata krama.

***

Carmel menatap kobaran api yang menjilati kayu bakar dalam perapian. Asapnya membuat suasana hangat. Kepala gadis kecil itu mengiang-ngiang atas rasa bencinya pada Justin juga rindu pada Jason. Dia tak percaya bisa sekalut ini sebelumnya.
                “ Mom, apakah ada rencana untuk berlibur ditahun baru?” Tanya Carmel menatap ibunya yang serius dengan buku tebal yang memenuhi kesepuluh jarinya. Mrs Wesley memiringkan kepala dari buku, menatap anaknya yang telungkup diatas karpet didekatnya.
                “ Mom tidak tahu, ayahmu masih belum bisa libur sampai akhir desember.” Jawab Mrs Wesley tenang. Berusaha tidak menyakitkan keinginan sang putri, ia yakin usahanya sia-sia saat melihat ekspresi Carmel yang memberengut.
                “ Aku tidak mengerti. Inikan hari natal, semua orang merayakannya, Mom.” Carmel berargumen. Wajahnya serius menatap sang ibu yang langsung menutup buku dan meletakkannya diatas meja tepat disamping sofa dimana ia duduk.
                “ Bahkan keluarga Mr Easter berencana libur ke Jacksonville. “ Carmel mendengus, menatap tungku perapian yang menyala-nyala. Mrs wesley mendekati anaknya, mengelus sayang rambut cokelat pirang miliknya yang panjang.
                “ Carlota bilang begitu?” tanya Mrs Wesley lembut. Carmel mengangguk lambat-lambat dan berdesis pelan.
                “ Carlota pasti akan memiliki liburan yang menyenangkan di Jacksonville.” Gumamnya tertuju pada diri sendiri. Mrs Wesley terduduk disamping gadis kecilnya dan membangkitkan Carmel dari telungkupnya. Carmel menatap wajah sang ibu, matanya berpendar dalam cahaya remang-remang yang hanya terpusat pada tungku perapian. Carmel baru menyadari mata ibunya begitu indah, warna cokelat terang seperti batang pohon eak yang berbau harum dihutan pinus. Pancaran matanya begitu tulus dan damai, dan itu membuat hati Carmel yang terkoyak sedikit membaik.
                “ Kita tidak harus berlibur untuk merayakan sesuatu. Bisa bersama-samapun itu akan menyenangkan bukan? Kau , ayahmu, dan Ibu. Hanya kita bertiga. Tak peduli dimana kita berada, asal kita bersama , semua akan terasa seperti di surga. “ kalimat Mrs Wesley seakan kalimat pengantar dari langit ke tujuh, membuat Carmel diam tak berkutik dan terhipnotis. Gadis kecil itu mengangguk lambat-lambat dan memeluk ibunya erat-erat.
                “ Ah ya.” Mrs wesley berhenti sejenak. Wanita itu sedikit menggerakan badannya kebelakang dan meraih sesuatu diatas meja. Carmel mengamati ibunya yang membuka sebuah kotak ukiran kayu bewarna cokelat tua dan terkejut begitu mengetahui didalamnya ada sebuah liontin yang indah.
                “ Pakailah, ini untukmu.” Mrs Wesley menggantungkan liontin tepat diwajah Carmel. Carmel menatap ibunya tak percaya. Namun Mrs Wesley tetap bergerak untuk memakaikan liontin ini pada putrinya.
                “ Ini adalah liontin pemberian almarhum ayahmu saat kami menikah dulu,” sambil bercerita Mrs wesley memasangkan Liontin perak itu hati-hati dileher Carmel.
                “ Sekarang mom ingin kau menjaganya, bisakah kau melakukan itu untukku?” Mrs Wesley menatap anaknya. Carmel terlihat bahagia dan mengacungkan jari kelingkingnya.
                “ I worth it, Mom. “ ujarnya mantap. Mrs Wesley melingkarkan jari kelingkingnya disana lalu kembali memeluk Carmel yang tertawa.


                                                                         ***

sore ini Carmel merasa kesepian lagi, Carlota baru saja pergi bersama keluarganya keliburan yang menyenangkan. Huh. Siapa sih bos ayahnya itu? Apa dia tidak punya keluarga untuk merayakan hari natal hingga harus memenjarakan ayah Carmel dan menenggelamkannya bersama pekerjaan-pekerjaan memuakkan? Andai Carmel tahu, dia pasti sudah mengajak bos ayahnya itu adu panco. Dasar manusia tidak berkeprinatalan!
tidak ada yang bisa dilakukan Carmel di sore yang sepi ini kecuali mengorek-ngorek salju. Dia berharap bisa menemukan sesuatu yang mungkin bisa saja mengabulkan tiga permintaan. jika terwujud tentu saja hal yang pertama ia inginkan adalah ayahnya bisa cepat menyelesaikan pekerjaannya hingga mereka bisa berlibur, yang kedua Carmel ingin salju turun sepanjang tahun, masa bodoh dia didemo jutaan manusia didunia yang rindu matahari dan yang ketiga.. errr yang satu ini sedikit bodoh memang tapi Carmel ingin Jasonnya kembali, dan bersikap baik padanya seperti dulu.
                “ Carmel Deana Summer.” Carmel terkejut, gadis 10 tahun itu mendongkak, poni yang tertata rapih di dahinya melewati matanya menyamarkan pandangan didepannya. Ia hanya melihat seorang anak lelaki bercelana jeans dan bermantel tebal , memakai syal dan topi wol berwarna biru. Carmel mengibaskan poninya dan berdiri. Barulah ia melihat dengan jelas siapa yang ada didepannya. Carmel menggerutu dalam hati, apa yang baru ditemukannya barusan tadi dibawah tumpukan salju? Batu? Tidak. Carmel yakin tidak menemukan apapun yang mampu mewujudkan ketiga permintaannya tapi entah bagaimana satu dari 3 permintaan itu terwujud sekarang. gadis kecil itu berharap ayahnya sekarang sudah ada dirumah atau ibunya meyiapkan persediaan makanan sebanyak-banyaknya karena salju akan terjadi sepanjang tahun. Wow.
                “ Jason.. “ Desis Carmel, tak tahan langsung memeluk anak lelaki ini. sangat kentara sekali Carmel begitu bahagia. Apapun yang ditemukannya tadi Carmel merasa sangat berterimakasih, kenapa tadi tidak minta hujan emas saja sekalian? Carmel mengusir pemikiran tak imperatif itu.
Tawaan Jason bergema membuat bulu-bulu Carmel bergetar. “ Tak ada niat untuk menjauhiku lagikan?” tanya Carmel, sikapnya was-was. Jason menjawabnya dengan anggukan pelan, namun mampu membuat hati Carmel berdentum-dentum gembira.
                “ Sedang apa kau disini?” Tanya Jason lembut. Carmel merasa suara Jason lebih indah dari awal mereka bertemu.
                “ Entahlah,” anak itu menggeleng. “ Bagaimana kalau kita main seluncur es disungai ?” Carmel bertanya semangat. Jason tersenyum dan mengangguk lalu mereka berjalan bersama.
                “ Kurasa sungai sudah mencair, musim semikan datang sebentar lagi.” Gumam Jason. Carmel tak begitu memperhatikan, dia terlalu gembira mengetahui kenyataan bahwa Jason sudah bersamanya lagi.

                                                                   ***

Mereka berdua akhirnya sampai pada bibir sungai. Carmel langsung tak banyak bicara, air mukanya menunjukkan kekecewaan. Jason memandang anak itu lalu mengangkat bibir setengah.
                “ Sudah kubilang sungainya mulai mencair.”
Carmel memberengut dan berbalik untuk berjalan lalu terduduk disebuah batu besar, gadis kecil itu menumpukan dagunya dengan kedua telapak tangannya sambil termenung.
                “ Apa kau tak punya ide yang lebih bagus ?” tanya Carmel ketika Jason ada disampingnya. Jason menjawabnya dengan gelengan kepala. Carmel mendengus, dia merasa bosan. Kok Jason mendadak pendiam seperti ini? biasanya Carmel akan sering tertawa karena Jason adalah anak hyperaktif. Mengingat kenangan yang lalu, Carmel teringat sesuatu.
                “ Jason..” Panggilnya, anak lelaki itu mengangkat alisnya yang tipis.
                “ Bolehkah aku bertanya sesuatu?” Carmel menatapnya hati-hati. Jason menjawabnya dengan senyum manis.
Awalnya Carmel tak tahu harus memulai dari mana, namun lambat laun gadis kecil itu mampu menguasai pikirannya yang rumit. “ Kau dan Justin.. “ Carmel berhenti untuk menatap Jason yang merubah ekspresinya. “ Apa perbedaanmu dengan dia? Aku dan Carlota sering sekali meributkan mana kau dan mana Justin. Aku.. aku hanya ingin tahu.”
Jason sedikit meringis mendengarnya namun anak itu ikut terduduk disamping Carmel yang diam menunggu jawaban.
                “ Aku dan Justin tentu sangat berbeda, meskipun rupa kami sama tetapi ada beberapa hal yang membuat kami berbeda. “ Jason menatap Carmel sejenak, gadis kecil itu nampak tenang mendengarkan.
                “ Aku suka SpongeBob, Justin tidak. Justin suka bermain petasan, aku tidak. Aku anak cengeng, Justin anak pemberani. Justin anaknya sedikit manja, tetapi mungkin aku lebih manja. Wajar saja jika kau sering tertukar, terkadang nenek kakek kami sering salah menyebutkan nama jika kami berdiri berdua. Mungkin hal detail yang membedakanku dan Justin adalah, aku memiliki tahi lalat disini di dekat bibirku, juga dileher. Kau bisa melihatnya? Agak samar memang, tetapi jika diperhatikan kau pasti takkan pernah tertukar lagi.” Carmel memperhatikan anak lelaki itu, gadis kecil itu samar-samar tersenyum.
                “ Aku berjanji, aku takkan keliru lagi.” Seru Carmel tertawa. Jason ikut tertawa. Mata Jason menatap Carmel cemerlang, gadis kecil ini lucu. Wajahnya cantik dibingkai mata cokelat seperti batu zambrud, bulu matanya pirang dan pipinya selalu merah dan itu membuat Carmel seperti daun maple gugur yang dirindukan saat musim panas. Jason mengamati Carmel dari atas sampai bawah, sepertinya dia tak salah mengenal Carmel lebih awal. Mata anak itu tiba-tiba terhenti pada satu titik yang berkialauan, pikirannya tak bisa tertahan untuk bertanya.
“ Carmel, apa itu?” Jason menunjuk tepat dileher Carmel. Carmel menatap lehernya dan detik selanjutnya senyumnya terangkat sempurna.
“ Ini liontin dari ibuku. Ayahku memberikannya saat pernikahan mereka. “ Cerita Carmel seraya melepas linontin itu dan menggangtungkannya dihadapan wajah mereka. Jason terpana menatap liontin itu. Dia bahkan belum pernah melihat liontin seindah itu, dimana ada ukiran seorang pria dan wanita sedang berdansa didalam sebuah lingkaran berbetuk hati juga ada setitik bulan sabit yang menggantung diatas kepala mereka.
                “ Itu.. pasti sangat berharga.” Jason berdesis. Carmel mengangguk setuju namun gerakan kepalanya mendadak terhenti ketika liontin itu sudah lenyap dari  tangannya dalam hitungan sepersekon.
                “ Berharga , eh musim panas?” Carmel tergelak, matanya melotot ketika wajah serupa Jason memainkan liontin ditangannya bersama teman-temannya menengahi dia. Air muka Carmel merah padam, anak lelaki nakal itu memanggil nama belakangnya? Yang benar saja.
                “ Kembalikan!” gertak Carmel bangkit dari duduknya. Suaranya panas, Carmel bisa merasakan tenggorokannya terbakar. Jason ikut bangkit, namun tubuhnya bergetar.
                “ Kau menginginkannya?” Justin, menatap Carmel dengan satu alis terangkat. “ Kau bisa mendapatkannya jika kau pandai berenang.” Sambil bicara Justin melemparkan Liontin Carmel kedalam sungai yang mencair meski bongkahan es masih tersebar dibeberapa titik. Liontin tersebut langsung tenggelam, Carmel membeku, meski suhu udara berpotensi untuk melakukannya. Justin dan teman-temannya tertawa puas lalu menghilang dari tempat mereka berdiri. Carmel menatap nanar sungai, matanya berkaca-kaca. Gadis kecil itu menangis tanpa suara dan langsung berlari, menghilang dari pandangan Jason yang mematung, tak berkedip, membeku, mati kutu.


                                                                                ***

Carmel berlari kedalam rumahnya , wajahnya dibanjiri air mata. Suara isakan tangisnya tak terbendung oleh apapun. Bahkan dia ingin menjerit sekeras-kerasnya.
gadis kecil itu membuka pintu rumahnya lebar-lebar dengan gerakan yang tak dapat lagi ia kontrol. Salah apa dirinya? Kenapa Justin setega itu?
pikiran Carmel berkecamuk, hatinya terasa retak disegala bagian. Matanya masih dipenuhi genangan air yang terus meluncur dari indra penglihatannya, namun pandangannya masih bersih, ia bahkan masih bisa melihat Ibunya yang sedang bencengkarama dengan seseorang di ruang keluarga mengeluarkan ekspresi terkejut saat melihatnya berantakan.
                “ Carmel, ada apa?” Mrs Wesley bertanya was-was, wanita itu buru-buru menghampiri putri semata wayangnya. Seorang pria yang sempat berada didekat Mrs Wesley ikut bangkit dari duduknya. Carmel menatap pria itu dingin, tanpa pikir panjang Carmel berlari kekamarnya. Meninggalkan wajah bingung sang Ibu dan si kepala polisi Washington DC yang masih lengkap menggunakan seragam tugasnya.
                “ Maaf Mr Bieber, kurasa cukup pembicaraan kita hari ini.” Ucap Mrs Wesley tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat pada tetangganya ini. Jeremy tersenyum dan mengangguk lalu berjalan menuju pintu diikuti Mrs Wesley dibelakangnya.
                “ Baiklah, jika perlu bantuan lagi atau apapun yang anda butuhkan, hubungi saya.” Jeremy meninggalkan jejak senyum diambang pintu.

                                                                        ***

Carmel masih terisak, meskipun air matanya tak mau keluar lagi. Carmel bahkan sudah mendapat penerimaan maaf dari sang ibu, tapi entah kenapa Carmel masih merasa sangat terluka. Itu adalah hadiah pemberian almarhum ayahnya bertahun-tahun yang lalu, dan Carmel menghilangkannya hanya dalam kurun waktu kurun 48 jam, Carmel bahkan bisa melihat tatapan kecewa saat sang Ibu merelakannya. Carmel memandang jendela kamar tidurnya, dia melihat jendela serupa didepannya. Itu rumah keluarga Bieber, Carmel tahu itu. Hatinya semakin tersiksa saja saat teringat kejadian tadi sore. namun mendadak ia ingat Jason. Carmel menahan nafas. Benar , Jason. Carmel meninggalkannya begitu saja tadi, ah bodoh.
Carmel masih memandang jendela ditutupi tirai disebrang sana, lampunya yang terang memantulkan bayangan di mata Carmel. Carmel memandang pantulan bayangan hitam itu lekat-lekat. Gadis kecil itu melihat seseorang terbatuk-batuk diatas kasur, salah satu kakinya tertekuk. Carmel tidak tahu pasti itu kamar siapa. Belum sempat pertanyaan yang mengiang diotaknya terjawab, Carmel melihat seseorang masuk kedalam kamar tersebut. Dari lekukan tubuhnya itu seperi Mrs Patty, ibu dari sikembar Bieber. Carmel bertemu dengannya beberapa kali dari waktu 18 hari ia tinggal disini. Patty adalah sosok yang menyenangkan, dan Carmel beruntung bisa mengenalnya. Pikiran Carmel tentang Patty lenyap ketika dia melihat Patty duduk diatas kasur sana, Patty memberi kecupan hangat pada siapapun itu yang terbaring diatas kasur. Carmel menyatukan alis ketika Patty beranjak keluar dan meninggalkan orang itu sendiri. Orang itu-entah siapapun dia- memiringkan tubuh kearah jendelanya. Carmel terperanjat, dia bahkan tak menutupi jendelanya dengan tirai.  Carmel tak mau disebut tukang intip, pasti orang itu tahu Carmel memperhatikannya sejak tadi. Dengan gerakan kilat Carmel menutup tirai jendelanya meski ia harus terjatuh tulungkup dari atas kasur dengan suara yang mampu menarik perhatian ibunya dilantai bawah.
                                                                                                ***
Hari-hari berikutnya Carmel tak pernah melihat Jason maupun Justin lagi. Kedua lelaki itu menghilang bagai tersapu musim salju yang juga sudah berganti. Semenjak kejadian itu semuanya menjadi aneh. Ayah Carmel datang untuk merayakan tahun baru dirumah mereka seminggu yang lalu, tetapi sekarang Mr Wesley sudah tenggelam dalam pekerjaannya lagi, bahkan lebih jarang pulang dibanding sebelum-sebelumnya. Dan yang lebih mengejutkan Mr Jeremy selalu datang mengunjungi kediaman Carmel setiap hari, entah itu hanya sekedar basa-basi , membenarkan keran air rusak ataupun membantu ibu Carmel ketika listrik dirumah mereka mendadak padam. Mr Jeremy terlalu banyak membantu melebihi seharusnya. Huh Carmel benar-benar mati kebosanan sekarang. Gadis kecil itu memilih untuk menghirup udara musim semi. Sesungguhnya ia benci musim salju sudah berganti, ternyata salju tak turun sepanjang tahun seperti keinginannya. Carmel melangkah keluar rumah, kakinya menginjak daun maple kering hingga menimbulkan suara renyah dibawah alas sandalnya.
                “ Apa yang mau kau tanyakan lagi? Sudah kukatakan semua ini tak ada artinya. Tak perlu kau dengar semua kicauan tetangga tak berguna itu.” Carmel tersentak, suara berat serupa gelegar auman srigala menendang gendang telinganya. Kepala gadis itu bergerak, mata Carmel menyipit melihat Jeremy dan Patty berdiri didekat pintu rumah mereka. Carmel merasakan atmosfer panas mennyentuh kulitnya hingga bulu-bulu tangannya menegang.
                “ Omong kosong. Aku melihatnya! Kau sering keluar masuk rumah wanita kesepian itu. Apa yang kau lakukan bersama istri yang ditinggal suaminya berhari-hari selain berselingkuh huh?” suara Patty tak kalah keras, tangannya terapung-apung tinggi menunjukkan betapa emosinya wanita lembut itu kali ini.  Carmel menatap mereka nanar, matanya terasa perih. Gadis kecil itu tahu kenapa hatinya terasa sakit, Patty seperti menyebutkan nama ibunya dengan kata tak enak didengar. Wanita kesepian. Benarkah ibunya seperti itu? tidak, Carmel yakin Patty hanya salah paham.
Bisa dilihat Jeremy kalap, dagunya mengeras, tatapan matanya seakan menyembutkan larva panas yang mampu membuat Patty gelagapan.
                “ Sudah kubilang keran airnya rusak lagi. ” Jeremy berkata disela-sela giginya.
                “ Persetan dengan keran air. Pergilah aku tak mau melihatmu lagi sampai kau benar-benar membuktikan bahwa kau tidak ada hubungan apa-apa dengan dia.” Suara Patty terdengar bergetar ditelinga Carmel, namun matanya bisa melihat Patty masih kuat berdiri disana.
                “ Baik, Kau akan kecewa berkata seperti itu, Mallete.” Jeremy berlalu, dengan sikap tegas pria itu memasuki mobil polisinya dan dengan deruan keras meninggalkan suara mesin yang mengaum di perkarangan rumah mereka. Carmel membeku, gadis kecil itu seperti kehilangan tatapannya, dia mencoba beberapa kali berkedip dan memandang Patty yang terisak sendirian disana. Carmel menatap Patty tanpa arti ketika Patty menyadari Carmel menatapnya. Patty menatap Carmel namun tatapan itu mampu membuat lutut Carmel lumpuh. Gadis kecil itu menangis melihat Patty masuk kerumahnya tanpa mengatakan apapun. Bukan, bukan karena itu, tatapan Patty seperti memberi isyarat bahwa dia bukan wanita lembut seperti dulu lagi, bahwa dia menunjukkan betapa wanita itu dilanda kebencian yang mendalam pada Mrs Wesley, tetangganya.
                               
                                                                                ***
Jagad raya disapu malam bersama titik titik terang yang bertebaran sejauh mata memandang. Ini musim semi, seharusnya angin terasa lebih sejuk namun entah kenapa perasaan Carmel hari ini membuat angin malam tak berarti apa-apa. Tak juga mampu mendeuhkan hatinya yang kering seperti disapu kemarau setahun.
Gadis kecil itu tak mengerti kenapa kisahnya harus serumit ini. bahkan suara ibunya yang lembut sehalus sutra tak mampu menenangkan hatinya yang kalut. Carmel masih anak-anak, anak-anak seusianya haruslah gembira, tak pernah memikirkan soal apapun kecuali kesenangan mereka. Tapi Carmel sudah jauh memikirkan nasib keluarga orang lain, nasib Jason, nasib ibunya. Carmel bertambah sedih ketika percakapannya dengan sang ibu saat makan malam tadi hanya sebuah pepesan angin.
                “ Mom, boleh aku bertanya sesuatu?” Carmel yang sedari tadi memandang kosong sarden tuna diatas piringnya akhirnya mengeluarkan suara.
                “ Bertanya apa Car?” Mrs Wesley mendongkak sambil menyesap teh hangat  miliknya.
                “ Apa benar Mom dan Mr Jeremy .. “ Kalimat Carmel terhenti saat melihat ekspresi tenang Mrs Wesley mendadak berubah.
                “ Oh itu.” Ucap Mrs Wesley, mengeluarkan nafas. “ Kau dengar dari orang-orang ya ?”
Carmel terdiam tak bersuara.
                “ Car, sebaiknya kau dengar yang baik-baik saja. Anak seusiamu tak pantas mencampuri urusan orang dewasa. Ibu hanya tak ingin kau terlalu banyak berfikir. Ibu sudah berfikir tentang berbagai hal dan itu tak mengubah apapun. Ibu menyayangimu nak, sangat. Kau tak perlu memikirkan hal itu lagi, mengerti?”
Carmel bahkan masih sangat ingat kata-kata ibunya yang satu itu.  seperti sengaja ditancapkan paku disana, terus melekat kuat.

                                                                                ***
Pagi itu suasana harusnya indah, dipenuhi burung yang berkicau dan mampu membuat orang-orang yang ceria bersenandung. Carmel baru saja membuka mata, bukan karena ia diintip sinar matahari dari kisi-kisi jendela kamarnya, tapi ia baru saja mendengar suara bising. Ini bukan suara bising mobil tua Mr Easter yang sudah pulang dari Jacksonville semalam, tetapi suara pecahan kaca, banyak suara-suara yang mengatakan kata-kata tak enak didengar, disana, dilantai bawah, dirumah si gadis musim panas.
Carmel langsung bangkit dari atas kasur, gadis itu tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terhenti begitu ia sampai di anak tangga ke 4 dari lantai kamarnya. Carmel mencengkram kuat penyangga tangga sampai buku-buku jemarinya terlihat. Gadis itu melihat sang ayah yang sangat-paling dia rindukan… juga ibunya. Mereka berdebat, wajah mereka sama merahnya. Carmel pernah melihat yang satu ini, adegan seperti ini yang hanya ada di tv-tv. Carmel terduduk lemas dianak tangga, dia juga melihat tumbikar pemberian kakeknya saat di New Jersey dulu pecah berkeping-keping disektar ibunya berpijak. Carmel menggeleng, gadis itu menutup kedua telinganya dengan telapak tangan sambil menahan tangis.
                “ Kenapa kau baru bertanya hari ini? kemana dirimu kemarin-kemarin?” Meskipun Carmel sudah berusaha menutup telinganya, namun ia masih bisa mendengar suara jeritan perih ibunya disana.
                “ Aku melakukan ini untukmu, untuk Carmel, untuk keluarga kita. Dan kau memanfaatkan kepergianku untuk bersama si brengsek itu? kini semua orang di komplek tahu kau itu wanita perusak rumah tangga orang.” 
PLAK
Tamparan keras mendarat tepat diwajah Carlely, Mrs Demetria menatapnya penuh emosi, wajahnya merah padam dan nampak kilatan amarah menguar dari bola matanya yang indah.
                “ Jaga ucapanmu tuan Wesley. Kau tidak berhak mengucapkan kata-kata sialan itu.” Mrs Demetria menuding Mr Carlely dengan tangannya. Pria berwibawa itu langsung menepis apungan tangan istrinya dan menatapnya tajam. Mrs Demetria beranjak, wanita itu berjalan penuh kemantapan menuju kamarnya dan menghilang dibalik pintu, 2 menit berselang Mrs Demetria sudah kembali dengan mendorong koper besarnya. Mr Wesley menatap kening istrinya berkerut. Kali ini Carmela berani membuka telinganya, perasaannya sudah tidak bagus.
                “ Kau mau kemana huh?” Tanya Mr Carlely , suaranya tak setinggi tadi. Mrs Demetria menatapnya dingin, wanita itu berjalan menuju pintu.
                “ Pergi.. pergi jauh darimu. Agar kau menyadari betapa menyesalnya kau kehilangan orang yang kau cintai.” Kata-kata Mrs Demetria menampar Mr Carlely. Kali ini kata-katanya lebih menyakitkan dari tamparan istrinya tadi.
                “ Baiklah, pergilah sejauh mungkin. Kuharap kau takkan pernah kembali. Dan aku takkan pernah menyesal kehilanganmu, Deane.” Mr Wesley mengucapkannya getir. Mrs Demetria menitihkan air mata, hatinya terasa sakit sampai kesekat-sekatnya. Wanita itu akhirnya mendengus.
                “ Semoga hari ini adalah hari keberuntunganmu, semoga saja aku ditabrak truk atau semacamnya sampai mati… “ kata-kata Mrs Demetria menghilang diiringi tubuhnya yang lenyap dari ambang pintu. Mr Carlely shock, tatapannya nanar.
Carmel terasa lemas, tubuhnya kini terasa tak bertulang. Dia baru saja menyaksikan apa yang seharusnya tak dia saksikan. Carmel sekuat tenaga berdiri, berlari menuju balkon kamarnya. Semoga ibunya belum jauh pergi, ia ingin sekali berteriak memanggil nama sang ibu. Carmel memasuki kamarnya dan berlari tersandung-sandung menuju balkon yang tertuju langsung pada halaman rumahnya. Ibunya ada disana, masih berjalan. Carmel mencoba teriak memanggil sang ibu, tetapi tubuh ibunya menghilang saat pintu mobil polisi tepat berhenti didepannya dan membawanya melesat jauh dari pandangan Carmel yang terasa tak berdaya dan terjatuh.

                                                                                ***
Carmel terus menangis dipangkuan sang ayah. Mr Wesley juga tidak bisa berbuat banyak selain hanya bisa mengusap, mengecup sayang putrinya. Mr Wesley merasa benar-benar bodoh sampai-sampai ia ingin bunuh diri. Seharusnya ia tak mengatakan kata-kata itu.. seharusnya ia tak membiarkan Demetria, istrinya pergi.. seharusnya ia selalu pulang cepat.. seharusnya ia tak menerima pekerjaan ini.. seharusnya ia ada di New Jersey.. oh andai ada mesin waktu, Mr Carely rela menukarkan jiwanya untuk itu asal istrinya kembali.
                “ Sshhh tenanglah, Ibumu hanya pergi sebentar, takkan lama. Dia pasti kembali.” Untuk kesekian kalinya Mr Wesley menenangkan Carmel yang memeluk tubuhnya sambil menangis. Carmel masih terus terisak perih, dia terus teringat sang ibu sampai-sampai dia meraskan ibunya kini ada disampingnya begitupun Mr Wesley. Namun pikirannya mendadak buyar seketika saat mendengar suara bel rumahnya berbunyi, sambil menggendong Carmel yang masih memeluk lehernya erat-erat ia berjalan menuju pintu, sedikit menyunggingkan senyum dan  berharap itu adalah Demetria istrinya.
Mr Wesley membuka pintu perlahan, namun senyum samarnya lenyap begitu melihat dua orang berseragam sama seperti Jeremy. Bahunya mantap, tatapannya tegas.
                “ Selamat malam.” Satu dari kedua polisi itu menyapa. Mrs Wesley mengangguk untuk membalas.
                “ Benar ini kediaman Mr Carlely Wesley?” kali ini Mrs Wesley menjawab dengan suara serak.
                “ Benar, ada apa pak?”
                “ Istri anda, Demetria Deane baru saja mengalami kecelakaan dan meninggal ditempat kejadian.”
Mrs Wesley terhempas, jantungnya seakan jatuh dari ketinggian. Carmel menjerit detik itu juga, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ayahnya bohong, Ibunya tidak pergi sebentar, Ibunya takkan kembali, Ibunya pergi untuk selama-lamanya.


                                                                                                ***

8 years laters…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar